KELAS KRITIK #1
CAMUS, ABSURDITAS, DAN BUNUH DIRI
Oleh:
Abdul Qodir
Disampaikan
pada Kelas Kritik WARAS Universitas Suryakancana, 23 Sepetember 2016
Manusia mati, dan mereka tak
berbahagia. Karena bila Tuhan ada, tidak perlu orang terlempar ke dunia bagai
terlempar ke kali. Tak ada alasan untuk menderita, apalagi untuk mati? Semuanya
Absurd –Albert Camus
Pemikiran tentang kehidupan manusia yang
dikemukakan oleh Camus melalui Mite Sisifus Pergulatan dengan Absurditas (le Mythe de Sysiphe) meliputi absurditas dan bunuh diri.
Bagi Camus, bunuh diri merupakan salah satu jalan keluar dari absurditas karena
rasa absurd tidak berada pada dunia atau pada manusia tetapi pada pertentangan
antara kesadaran manusia dan kenyataan dunia yang paling dalam. Pernyataan …sesungguhnya
menegaskan bahwa pemberontakan, kebebasan, dan gairah jiwa merupakan jalan
hidup untuk menolak bunuh diri. Kehidupan Sisifus (Sysiphe) yang harus
berulang-ulang membawa batu di punggung mendaki bukit dan ia tahu bahwa batu
tersebut akan jatuh kembali memberi kesadaran bahwa mata rantai kehidupan yang
mekanis menyebabkan manusia memiliki kesadaran tentang pembebasan diri dari
kehidupan tetapi bukan dengan cara bunuh diri (Camus, 1999:14). Dengan bekal
kesadaran yang dimiliki itulah manusia kembali menjalani kehidupan dengan
harapan dan gairah seperti Sisifus yang tidak pernah putus asa meski kerja
kerasnya menggotong batu akan sia-sia.
Sebelum manusia bertemu dengan pengalaman absurd, ia hidup dengan
penuh harapan dan idealisme yang akan runtuh begitu saja setelah menemui
pengalaman absurd. Selanjutnya kesadaran tentang kehidupan yang ada di setiap
saat akan timbul gairah. Kegairahan tersebut dintandai dengan adanya kesadaran
tentang “saat” yang kemudian berkembang
menjadi kesadaran tentang urutan „saat-saat‟.
Kesadaran inilah yang merupakan absurd yang ideal (Camus, 1999:25-26).
Setelah mencapai tahapan tersebut akan berkembang sikap masa bodoh (indifférence).
Sikap ini muncul karena manusia telah bebas dari segala aturan dan
pilihan-pilihan yang mengikatnya sehingga manusia tidak perlu lagi memilih
maupun menolak. Prinsip ini melahirkan rumusan baru bahwa segalanya
diperbolehkan. Dalam tahap ini manusia absurd telah dibebaskan dari segala
beban cita-cita dan harapan tentang masa depan. Ia boleh melakukan apa saja
tanpa mempertimbangkan dosa dan segala hal yang berhubungan dengan Tuhan.
Bahkan segala hal yang bersifat mungkin cukup diatasi oleh manusia. Manusia
lari kepada Tuhan karena ia menganggap permasalahannya tidak mungkin diatasi
sendiri (Camus, 1999:15). Penolakan terhadap campur tangan Tuhan karena segala
hal yang berhubungan dengan Tuhan dianggap irrasional.
Pemikiran tentang absurditas sebagaimana tertuang dalam esai Mite Sisifus Pergulatan
dengan Absurditas (le Mythe de Sysiphe) di atas terlihat dengan jelas pada sikap tokoh Mersault dalam novel Orang Asing (l’Etranger). Mersault menjalani kehidupan pribadinya secara
monoton dan mekanistis. Hari-harinya diawali dengan keberangkatan ke kantor di
pagi hari dengan naik trem. Siang hari ia ke restoran untuk makan siang. Pulang
ke rumah untuk beristirahat sejenak dan kembali lagi ke kantor untuk
melanjutkan pekerjaannya. Malam hari ia pulang ke rumah dan tidur.
Kehidupannya monoton yang dijalani oleh Mersault membuat ia tidak
memikirkan keinginan maupun cita-cita di masa mendatang. Kematian ibunya maupun
rasa cinta kekasihnya, Marie, tidak mampu menyentuh perasaannya. Promosi
jabatan yang ditawarkan oleh direktur ditolaknya. Bagi Mersault perubahan dalam
hidup tidak akan pernah terjadi dan ia merasa cukup puas dengan kehidupan
monoton yang dijalaninya sampai pada satu musibah yang menimpanya ketika ia
bersama Marie, pacarnya serta teman-temannya melewati akhir pekan di pantai.
Musibah tersebut terjadi begitu saja. Peristiwa diawali dengan terjadinya
pertengkaran antara teman Mersault bernama Raymond dengan seorang Arab. Mersault
terlibat dalam pertengkaran tersebut. Di bawah sinar matahari pantai yang
menyilaukan mata dan ancaman pisau, secara refleks Mersault menarik pelatuk
pistol yang dipegangnya dan terjadilah pembunuhan. Peristiwa tersebut membawa
perubahan pada kehidupan Mersault.
Setelah peristiwa pembunuhan
tersebut, Mersault ditangkap dan dibawa ke penjara. Setelah ditahan selama satu
tahun ia diajukan ke pengadilan. Di pengadilan, Mersault berhadapan dengan
orang-orang yang berpendirian teguh pada prinsip kemasyarakatan seperti hakim,
jaksa, dan pembela. Sebagai manusia yang polos (atau tak acuh?) Mersault tidak
memahami proses pengadilan yang dijalaninya. Ia begitu saja mengemukakan
kebenaran yang dipercayainya. Akibatnya Mersault dianggap membahayakan bagi
masyarakat dan ia dijatuhi hukuman mati.
Selama berada di penjara Mersault melalui hari-harinya dengan
memandangi langit sambil tiduran atau membaca potongan-potongan kertas koran
yang dikumpulkannya dalam sebuah buku tua. Setelah dijatuhi hukuman mati timbul
harapan-harapan pada diri Mersault. Ia berharap dapat terbebas dari hukuman
mati dengan cara melarikan diri dari penjagaan para algojo. Harapan untuk
mendapatkan pengampunan sebagaimana dialami oleh orang lain juga mulai muncul
pada kesadaran Mersault.
Sebelum pelaksanaan hukuman mati, Mersault dikunjungi oleh seorang
paderi. Paderi tersebut berusaha meyakinkan Mersault bahwa meskipun vonis mati
sudah dijatuhkan pengadilan Mersault masih memikul dosa kepada Tuhan. Paderi
juga berusaha memberi harapan-harapan baru kepada Mersault tentang kehidupan di
akhirat tetapi Mersault merasa bahwa tindakan paderi tersebut telah melampaui
batas sehingga meledaklah kemarahan Mersault. Kemarahan tersebut merupakan
wujud pemberontakan atas kesadaran tentang kenyataan yang harus ia hadapi. Ia
bersedia menjalani hukuman dan tidak mau lebih dari itu.
Dengan kemarahannya yang meledak Mersault merasa telah bebas dari
segala beban yang selama hidupnya ia rasakan sangat mengekang. Pemberontakan
inilah yang kemudian melengkapi kedirian Mersault sebagai manusia absurd
sejati. Dengan pemberontakan itu pula Mersault benar-benar menemukan kesadaran
absurdnya kehidupan yang ia jalani selama hidup dan bagaimana ia harus bersikap
dalam menjalani kehidupan yang absurd. Sejak saat itu pula Mersault merasa
telah siap untuk menghadapi apapun yang akan terjadi, termasuk kematian yang
akan dihadapinya. Bagi manusia absurd setiap saat dalam hidupnya sangat
berarti, sebagaimana kata-kata Mersault berikut:
“Dan
aku juga, aku merasa siap untuk memulai hidupku yang baru. Seolah-olah
kemarahanku telah membebaskanku dari segala derita dan membersihkan diri dari
segala harapan. Di hadapan malam yang penuh dengan isyarat dan bintang-bintang,
untuk pertama kali kubuka diriku bagi kemasabodohan dunia yang mesra. Untuk
membuktikan bahwa begitu pula aku rasakan begitu dekatnya dan bersaudara.
Kurasakan bahwa selama ini aku hidup bahagia dan sampai saat ini pun aku tetap
merasa bahagia. Agar segalanya tercurahkan, agar aku tak merasa terlalu
kesepian lagi, hanya satu yang kuharapkan, agar pada hari eksekusiku nanti akan
berduyun-duyun orang datang menonton, dan mereka menyambutku dengan
teriakan-teriakan kebencian.” (Camus, 1985:188).
Sebelum perjumpaannya dengan pengalaman absurd, Mersault menjalani
kehidupannya dengan monoton tanpa adanya kesadaran. Baru setelah berlangsungnya
peristiwa pembunuhan yang diikuti oleh proses peradilan, ia mulai
mempertanyakan tentang nilai-nilai kehidupan. Tahap puncak sebagai manusia
absurd sejati dicapai Mersault setelah ia diprovokasi oleh paderi dengan
tuntutan-tuntutan dan harapan yang irasional. Peristiwa ini menyulut
pemberontakannya yang membuktikan bahwa ciri-ciri manusia absurd sejati telah
tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Camus,
Albert. (1999). Mite Sisifus Pergulatan dengan Absurditas, terj. Apsanti.D,
Jakarta: Gramedia,
Camus,
Albert. (1985). Orang Asing, terj. Apsanti.D, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Komentar
Posting Komentar